Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Ahlan Wa Sahlan Bi Hudhlurikum

Kamis, 25 Oktober 2012

Abdul Karim, Peletak Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah

Mursyid tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah terakhir yang mampu menyatukan kepemimpinan keseluruhan cabang tarekat itu. Dia murid dan salah satu khalifah Syaikh Ahmad Khatib Sambas, penyusun Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.

Lewat Abdul Karim yang berpusat di Banten, tarekat ini tersebar ke berbagai daerah di Nusantara. Tidak hanya dalam soal olah batin, lingkaran tarekat Abdul Karim juga terkenal  karena sebagian murid terdekatnya dihubungkan dengan pemberontakan petani melawan Belanda tahun 1888.

Tahun kelahirannya tidak banyak diketahui, tetapi sebuah sumber memperkirakan dia dilahirkan pada tahun 1830 M/1250 H. di desa Lampuyang, Serang, Banten. Nama orang tua dan masa pendidikan kecilnya juga tidak banyak diketahui, kecuali dia tinggal di daerah Banten. Tokoh ini dikenal kemudian belajar ke Mekkah, sezaman dengan para sahabat yang ditemuinya, yaitu Syaikh Nawawi al-Bantani, Syaikhona Muhammad Cholil, Syaikh Mahfudz at-Tirmasi, dan lain-lain.

Di Kota Mekkah ini, dia belajar di antaranya kepada Syaikh Ahmad Khatib Sambas yang saat itu sudah menjadi pengajar di Masjidil Haram, sekaligus mursyid tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dari bimbingan Ahmad Khatib Sambas ini, Abdul Karim mumpuni di bidang ilmu tasawuf, dan diangkat sebagai salah satu khalifahnya.

Selain Abdul Karim, Ahmad Khatib juga dikenal mengangkat beberapa khalifah untuk menyebarkan tarekatnya ke Nusantara, yaitu: Syaikh Tholhah Cirebon dan Syaikh Ahmad Hasbullah al-Maduri yang tinggal di Mekkah. Beberapa murid Ahmad Khatib juga mengajarkan Qadiriyah wa Naqsyabandiyah meskipun tidak ada keterangan apakah benar-benar telah diangkat sebagai khalifah ataukah sekadar sebagai badal.

Setelah memperoleh ilmu di Mekkah, Abdul Karim kembali ke Banten, diperkirakan pada tahun 1860-an, kemudian mendirikan pesantren dan menyebarkan tarekat yang diperoleh dari gurunya. Nama pesantrennya, sayang  tidak diketahui, kecuali hanya informasi bahwa pesantren ini berkembang dan murid-murid tersebar di berbagai pelosok Banten dan daerah lain.
Di antara murid-muridnya adalah Tubagus Muhammad Falak Pandeglang. Para pejabat pemerintah juga menghormatinya, karena Abdul Karim telah menjadi tokoh terkenal, karismatik, dan oleh masyarakat disebut sebagai Kiai Agung dan waliyullah.

Pada saat dia tinggal di Banten ini, kondisi sosial masyarakat tengah terhimpit oleh pemerintah kolonial, utamanya di kalangan petani. Semangat melakukan perlawanan telah muncul lama di kalangan masyarakat, hingga sebagian murid-murid dan tokoh-tokoh di Banten ingin melakukan pemberontakan kepada pemerintah kolonial.
Sebagai tokoh karismatik, dia selalu dimintai restu oleh tokoh-tokoh Banten, baik pejabat pemerintah maupun para pemimpin perancang pemberontakan. Beberapa muridnya yang kemudian dianggap berperan dalam mengajak pemberontakan adalah Tubagus Ismail dan H. Mardjuki (yang menjadi salah satu khalifahnya dalam tarekat).

Hanya saja, sebelum pemberontakan benar-benar pecah di Banten tahun 1888, Abdul Karim pergi ke Mekkah, diperkirakan terjadi pada tahun 1876, setahun setelah meninggalnya Ahmad Khatib Sambas. H. Mardjuki kemudian juga menyusul pergi ke Mekkah sebelum pemberontakan terjadi.

Di Mekkah, Abdul Karim semakin dipandang sebagai khalifah yang ditaati oleh para khalifah yang telah diangkat Ahmad Khatib. Sampai akhir hayatnya, dia tinggal di Mekkah dan memimpin tarekat ini, tetapi angka tahunnya tidak diketahui pasti.
Sepeninggal Abdul Karim, tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah tidak memiliki pemimpin tunggal yang ditaati oleh seluruh anggota dan hanya menjadi kelompok tarekat dengan kepemimpinan lokal, meskipun memiliki pengikut yang sangat besar. (Sumber: Ensiklopedia NU)

Pengertian Ilmu Aqoid

Pada kesempatan ini rubrik ubudiyah bermaksud menghadirkan kembali tulisan KH. Abdul Wahab Chasbullah mengenai ilmu aqoid yang pernah dimuat secara bersambung pada majalah ‘Oetusan Nahdlatul Oelama’ pada awal tahun 1928.Hal ini dipandang perlu mengingat ilmu aqoid sebagai salah satu asas dalam memahami Islam secara sempurna –kaffah-, kini mulai jarang disentuh. Bahkan hampir mengalami ‘kepunahan’. Buktinya, jarang sekali kita mendengar istilah aqoid, apalagi ilmu aqoid. Telinga dan mata kita lebih familier dengan istilah aqidah islam, aqidah ahlussunnah atau malahan kalimat pertentangan aqidah. Semuanya kita fahami begitu saja tanpa pikir panjang.
Selanjutnya diterangkan bahwa ilmu aqoid sebagaimana diterangkan dalam kitab Bajuri dan Jam’ul Jawami’ sebagai:
العلم بالعقائد الدينية الاعتقادية اليقينية المكتسب من ادلتها الشرعية
Pengetahuan yang terikat dalam masalah keyakinan keagamaan yang diambil dari dalil-dalil syara’.
Adapun guna mempelajari ilmu aqoid adalah untuk membetulkan dan meneguhkan iman manusia kepada Tuhan Allah Ta’ala. Iman yang benar akan mengesahkan segala amal ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lain-lannya. Dan surga  menjadi pahala balasan di akhirat nanti. Namun, jika iman seseorang tidak dalam posisi yang benar, maka semua amal itu akan sia-sia. Dan di akhirat nanti neraka sebagai ganjarannya.
Melihat posisi dan guna ilmu aqoid yang begitu pentingnya, maka belajar ilmu aqoid hukumnya fardhu ain. Artinya wajib bagi setiap orang yang berakal untuk mempelajarinya .
Ilmu aqoid dinamakan demikian Ilmu aqoid karena pengetahuan ini berisikan satu bundelan (ikatan) mengenai sahnya iman dan Islam yang jumlahnya 50, yang terkenal dengan istilah aqoid seket. Dengan perincian 20 sifat wajib bagi Allah, 20 sifat mustahil bagi Allah, 1 sifat jaiz bagi Allah, 4 sifat wajib bagi Rasul, 4 mustahil bagi Rasul dan 1 sifat jaiz bagi Rasul. Semuanya itu terkandung di dalam kalimah La Ilaha Illallah.
Ilmu aqoid juga disebut ilmu ushuluddin, yaitu ilmu mengenai pokoknya agama. Karena itu barang siapapun orangnya beribadah siang malam, tetapi tidak memiliki pengetahuan ilmu ini, maka ibadah itu dianggap tidak sah.
Selain itu, ilmu ini juga disebut dengan ilmu kalam (ilmu bicara), karena siapapun tidak akan dapat memahami ilmu aqoid ini secara benar, apabila belum dibicarakan dengan panjang lebar dan penuh perhatian. Bahkan perlu digaris bawahi bahwa memahami ilmu aqoid ini tidak cukup dengan membaca buku saja tetapi harus melalui seorang guru (digurukan).
Demikian diterangkan oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah dalam Majalah Oetusan Nahdlatul Oelama. Adapun mengenai medan pembahasan ilmu aqoid akan diterangkan menyusul. Penulisan kembal ini tentunya disertai perubahan edjaan dan gaya bahasa yang berlaku sekarang untuk mempermudah pemahaman.

Sumber: Oetusan Nahdlatul Oelama, No1. Tahun ke.1. (Redaktur: Ulil Hadrawy)

Syarat Hewan Qurban dan Cara Distribusinya

Qurban dalam terminologi fiqih sering disebut dengan udhhiyyah, yaitu menyembelih hewan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt yang boleh dilaksanakan mulai dari terbitnya matahari pada hari raya idul adha (yaumun nahr) sampai tenggelamnya matahari di akhir hari tasyrik yaitu tanggal 11,12,13 Dzulhijjah.
Berqurban sangat dianjurkan bagi orang-orang yang mampu, karena qurban memiliki status hukum sunnah muakkadah, kecuali kalau berqurban itu sudah dinadzarkan sebelumnya, maka status hukumnya menjadi wajib. Anjuran berqurban banyak disebutkan dalam hadits diantaranya yang diriwayatkan dari sayyidah Aisyah bahwa tidak ada amal anak manusia pada hari nahr yang lebih dicintai Allah swt melebihi mengalirkan darah (menyembelih qurban). Sebelum anjuran itu, dalam al-Qur’an Allah swt juga sudah menganjurkan hamba-hambanya untuk berqurban. Pesan itu termaktub dalam al-Kautsar ayat 2
فصل لربك وانحر (الكوثر: 2)
Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkuebanlah (QS. Al-Kautsar)
Berqurban merupakan ibadah yang muqayyadah, karena itu pelaksanaannya diatur dengan syarat dan rukun. Tidak semua hewan dapat digunakan dalam arti sah untuk berqurban. Hewan yang sah untuk berqurban hanya meliputi an’am saja yaitu sapi, kerbau, onta, domba, atau kambing, dengan syarat bahwa hewan-hewan tersebut tidak menyandang cacat, gila, sakit, buta, buntung, kurus sampai tidak berdaging atau pincang. Cacat berupa kehilangan tanduk, tidak menjadikan masalah sepanjang tidak merusak daging.
Itupun harus dilihat umurnya. Onta dapat dijadikan sebagai qurban apabila telah mencapai 5 tahun. Jika sapi atau kerbau minimal berumur 2 tahun. Jika qurban berupa kambing domba (adh-dha’n) minimal telah berumur 1 tahun, sedangkan kambing kacang (al-Ma’z) paling tidak sudah berumur 2 tahun.    
Dalam praktiknya, berqurban dapat dilaksanakansecara pribadi atau orang perorang dan dapat pula secara berkelompok. Setiap 7 (tujuh)orang dengan seekor sapi atau kerbau atau onta. Ketentuan ini didasarkan pada sebuah hadits dari sahabat Jabir sebagai berikut:
أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن نشترك فى الابل والبقر كل سبعة منا فى بدنة (متفق عليه)
Nabi memerintahkan kepada kami berqurban satu unta atau satu sapi untuk setiap tujuh orang dari kami (Muttafaq Alaih)
Adapun korban kambing hanya dapat mencukupi untuk qurban bagi seorang saja (Iqna’), jadi tidak diperbolehkan dua orang menggabungkan uangnya lantas dibelikan satu kambing dan berqurban dengan satu kambing tersebut. Berdasarkan perbedaan status hukumnya antara sunnah dan wajib, distribusi daging qurban sedikit berbeda. Bagi mereka yang berqurban sunnah, boleh bahkan disunahkan untuk ikut memakan daging qurbannya, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an sebagai berikut:
فكلوا منها وأطعموا البائس الفقير (الحج :28)
Dan makanlah sebagian dari padanya (an’am) dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi faqir.
Begitu pula yang diceritakan dalam hadits bahwa Rasulullah saw. memakan hati hewan qurbannya. Adapun bagi mereka yang berqurban karena wajib dalam hal ini nadzar, maka tidak boleh atau haram memakan dagingnya. Apabila dia memakannya, maka wajib mengganti sesuatu yang telah dimakan dari qurbannya.
Lalau bagaimana kalau salah satu bagian hewan qurban itu dijual? Pada prinsipnya qurban adalah sedekah yang diperuntukkan bagi kaum dhuafa’, fakir, miskin secara Cuma-Cuma. Karena itu, pemanfaatannya juga tidak boleh keluar dari batas-batas itu, termasuk di dalamnya menjual anggota qurban. Dalam kitab Iqna’ disebutkan bahwa tidak diperkenankan menjual sesuatu dari hewan qurban berdasarkan pada haidts riwayat Hakim sebagaimana berikut:
من باع جلد أضحية فلا أضحية له (رواه الحاكم)
Barang siapa menjual kuliy qurbannya, maka tidak ada qurban baginya. (HR. Hakim)
Ini berarti penyembelihan itu hanya menjadi sedekah biasa tanpa mendapatkan keutamaan besar dari qurban. Tapi boleh bagi yang berqurban untuk mengambil kulitnya untuk dimanfaatkan sebagai sandal. Sepatu, tempat air dan lain sebagainya. Tetapi tetap saja tidak boleh dijual bahkan dianjurkan menyedekahkannya karena lebih utama.
Daging quban disyaratkan untuk dibagiakan kepada fakir miskin dalam keadaan masih mentah atau tidak berupa masakan. Ketentuan ini mengandung maksud agar fakir miskin dapat secara bebas mentasharufkannya (memanfaatkannya), apakah untuk dimasak sendiri ataukah untuk dijual karena pada dasarnya daging itu adalah miliknya sendiri.   
KH. Sahal mahfudz (Redaktur: Ulil Hadrawy)

Sabtu, 20 Oktober 2012

BERHAJI TUJUH KALI TAPI TAK PERNAH LIHAT KA'BAH



BERHAJI TUJUH KALI 
TAPI TAK PERNAH LIHAT KA'BAH

Sebagai seorang anak yang berbakti kepada orang tuanya, Hasan (bukan nama sebenarnya), mengajak ibunya untuk menunaikan rukun Islam yang kelima.
Sarah (juga bukan nama sebenarnya), sang Ibu, tentu senang dengan ajakan anaknya itu. Sebagai muslim yang mampu secara materi, mereka memang berkewajiban menunaikan ibadah Haji.
Segala perlengkapan sudah disiapkan. Singkatnya ibu anak-anak ini akhirnya berangkat ke tanah suci. Kondisi keduanya sehat wal afiat, tak kurang satu apapun. Tiba harinya mereka melakukan thawaf dengan hati dan niat ikhlas menyeru panggilan Allah, Tuhan Semesta Alam. “Labaik allahuma labaik, aku datang memenuhi seruanMu ya Allah”.
Hasan menggandeng ibunya dan berbisik, “Ummi undzur ila Ka’bah (Bu, lihatlah Ka’bah).” Hasan menunjuk kepada bangunan empat persegi berwarna hitam itu. Ibunya yang berjalan di sisi anaknya tak beraksi, ia terdiam. Perempuan itu sama sekali tidak melihat apa yang ditunjukkan oleh anaknya.
Hasan kembali membisiki ibunya. Ia tampak bingung melihat raut wajah ibunya. Di wajah ibunya tampak kebingungan. Ibunya sendiri tak mengerti mengapa ia tak bisa melihat apapun selain kegelapan. beberapakali ia mengusap-usap matanya, tetapi kembali yang tampak hanyalah kegelapan.
Padahal, tak ada masalah dengan kesehatan matanya. Beberapa menit yang lalu ia masih melihat segalanya dengan jelas, tapi mengapa memasuki Masjidil Haram segalanya menjadi gelap gulita. Tujuh kali Haji Anak yang sholeh itu bersimpuh di hadapan Allah. Ia shalat memohon ampunan-Nya. Hati Hasan begitu sedih. Siapapun yang datang ke Baitullah, mengharap rahmatNYA. Terasa hampa menjadi tamu Allah, tanpa menyaksikan segala kebesaran-Nya, tanpa merasakan kuasa-Nya dan juga rahmat-Nya.
Hasan tidak berkecil hati, mungkin dengan ibadah dan taubatnya yang sungguh-sungguh, Ibundanya akan dapat merasakan anugrah-Nya, dengan menatap Ka’bah, kelak. Anak yang saleh itu berniat akan kmebali membawa ibunya berhaji tahun depan. Ternyata nasib baik belum berpihak kepadanya.
Tahun berikutnya kejadian serupa terulang lagi. Ibunya kembali dibutakan di dekat Ka’bah, sehingga tak dapat menyaksikan bangunan yang merupakan symbol persatuan umat Islam itu. Wanita itu tidak bisa melihat Ka’bah.
Hasan tidak patah arang. Ia kembali membawa ibunya ke tanah suci tahun berikutnya.
Anehnya, ibunya tetap saja tak dapat melihat Ka’bah. Setiap berada di Masjidil Haram, yang tampak di matanya hanyalah gelap dan gelap. Begitulah keganjilan yang terjadi pada diri Sarah. hingga kejadian itu berulang sampai tujuh kali menunaikan ibadah haji.
Hasan tak habis pikir, ia tak mengerti, apa yang menyebabkan ibunya menjadi buta di depan Ka’bah. Padahal, setiap berada jauh dari Ka’bah, penglihatannya selalu normal. Ia bertanya-tanya, apakah ibunya punya kesalahan sehingga mendapat azab dari Allah SWT ?. Apa yang telah diperbuat ibunya, sehingga mendapat musibah seperti itu ? Segala pertanyaan berkecamuk dalam dirinya. Akhirnya diputuskannya untuk mencari seorang alim ulama, yang dapat membantu permasalahannya.
Beberapa saat kemudian ia mendengar ada seorang ulama yang terkenal karena kesholehannya dan kebaikannya di Abu Dhabi (Uni Emirat). Tanpa kesulitan berarti, Hasan dapat bertemu dengan ulama yang dimaksud.
Ia pun mengutarakan masalah kepada ulama yang saleh ini. Ulama itu mendengarkan dengan seksama, kemudian meminta agar Ibu dari hasan mau menelponnya. anak yang berbakti ini pun pulang. Setibanya di tanah kelahirannya, ia meminta ibunya untuk menghubungi ulama di Abu Dhabi tersebut. Beruntung, sang Ibu mau memenuhi permintaan anaknya. Ia pun mau menelpon ulama itu, dan menceritakan kembali peristiwa yang dialaminya di tanah suci. Ulama itu kemudian meminta Sarah introspeksi, mengingat kembali, mungkin ada perbuatan atau peristiwa yang terjadi padanya di masa lalu, sehingga ia tidak mendapat rahmat Allah. Sarah diminta untuk bersikap terbuka, mengatakan dengan jujur, apa yang telah dilakukannya.
“Anda harus berterus terang kepada saya, karena masalah Anda bukan masalah sepele,” kata ulama itu pada Sarah.
Sarah terdiam sejenak. Kemudian ia meminta waktu untuk memikirkannya. Tujuh hari berlalu, akan tetapi ulama itu tidak mendapat kabar dari Sarah. Pada minggu kedua setelah percakapan pertama mereka, akhirnya Sarah menelpon. “Ustad, waktu masih muda, saya bekerja sebagai perawat di rumah sakit,” cerita Sarah akhirnya. “Oh, bagus…..Pekerjaan perawat adalah pekerjaan mulia,” potong ulama itu. “Tapi saya mencari uang sebanyak-banyaknya dengan berbagai cara, tidak peduli, apakah cara saya itu halal atau haram,” ungkapnya terus terang. Ulama itu terperangah. Ia tidak menyangka wanita itu akan berkata demikian.
“Disana….” sambung Sarah, “Saya sering kali menukar bayi, karena tidak semua ibu senang dengan bayi yang telah dilahirkan. Kalau ada yang menginginkan anak laki-laki, padahal bayi yang dilahirkannya perempuan, dengan imbalan uang, saya tukar bayi-bayi itu sesuai dengan keinginan mereka.”

Ulama tersebut amat terkejut mendengar penjelasan Sarah.
“Astagfirullah……” betapa tega wanita itu menyakiti hati para ibu yang diberi amanah Allah untuk melahirkan anak. bayangkan, betapa banyak keluarga yang telah dirusaknya, sehingga tidak jelas nasabnya.
Apakah Sarah tidak tahu, bahwa dalam Islam menjaga nasab atau keturunan sangat penting.
Jika seorang bayi ditukar, tentu nasabnya menjadi tidak jelas. Padahal, nasab ini sangat menentukan dala perkawinan, terutama dalam masalah mahram atau muhrim, yaitu orang-orang yang tidak boleh dinikahi.

“Cuma itu yang saya lakukan,” ucap Sarah.
“Cuma itu ? tanya ulama terperangah. “Tahukah anda bahwa perbuatan Anda itu dosa yang luar biasa, betapa banyak keluarga yang sudah Anda hancurkan !”. ucap ulama dengan nada tinggi.

“Lalu apa lagi yang Anda kerjakan ?” tanya ulama itu lagi sedikit kesal.
“Di rumah sakit, saya juga melakukan tugas memandikan orang mati.”
“Oh bagus, itu juga pekerjaan mulia,” kata ulama.

“Ya, tapi saya memandikan orang mati karena ada kerja sama dengan tukang sihir.”
“Maksudnya ?”. tanya ulama tidak mengerti.
“Setiap saya bermaksud menyengsarakan orang, baik membuatnya mati atau sakit, segala perkakas sihir itu sesuai dengan syaratnya, harus dipendam di dalam tanah. Akan tetapi saya tidak menguburnya di dalam tanah, melainkan saya masukkan benda-benda itu ke dalam mulut orang yang mati.”
“Suatu kali, pernah seorang alim meninggal dunia. Seperti biasa, saya memasukkan berbagai barang-barang tenung seperti jarum, benang dan lain-lain ke dalam mulutnya. Entah mengapa benda-benda itu seperti terpental, tidak mau masuk, walaupun saya sudah menekannya dalam-dalam. Benda-benda itu selalu kembali keluar. Saya coba lagi begitu seterusnya berulang-ulang. Akhirnya, emosi saya memuncak, saya masukkan benda itu dan saya jahit mulutnya. Cuma itu dosa yang saya lakukan.”
Mendengar penuturan Sarah yang datar dan tanpa rasa dosa, ulama itu berteriak marah.
“Cuma itu yang kamu lakukan ? Masya Allah….!!! Saya tidak bisa bantu anda. Saya angkat tangan”.
Ulama itu amat sangat terkejutnya mengetahui perbuatan Sarah. Tidak pernah terbayang dalam hidupnya ada seorang manusia, apalagi ia adalah wanita, yang memiliki nurani begitu tega, begitu keji. Tidak pernah terjadi dalam hidupnya, ada wanita yang melakukan perbuatan sekeji itu.
Akhirnya ulama itu berkata, “Anda harus memohon ampun kepada Allah, karena hanya Dialah yang bisa mengampuni dosa Anda.”
Bumi menolaknya. Setelah beberapa lama, sekitar tujuh hari kemudian ulama tidak mendengar kabar selanjutnya dari Sarah. Akhirnya ia mencari tahu dengan menghubunginya melalui telepon. Ia berharap Sarah t elah bertobat atas segala yang telah diperbuatnya. Ia berharap Allah akan mengampuni dosa Sarah, sehingga Rahmat Allah datang kepadanya. Karena tak juga memperoleh kabar, ulama itu menghubungi keluarga Hasan di mesir. Kebetulan yang menerima telepon adalah Hasan sendiri. Ulama menanyakan kabar Sarah, ternyata kabar duka yang diterima ulama itu.
“Ummi sudah meninggal dua hari setelah menelpon ustad,” ujar Hasan.
Ulama itu terkejut mendengar kabar tersebut.
“Bagaimana ibumu meninggal, Hasan ?”. tanya ulama itu.
Hasanpun akhirnya bercerita : Setelah menelpon sang ulama, dua hari kemudian ibunya jatuh sakit dan meninggal dunia. Yang mengejutkan adalah peristiwa penguburan Sarah. Ketika tanah sudah digali, untuk kemudian dimasukkan jenazah atas ijin Allah, tanah itu rapat kembali, tertutup dan mengeras. Para penggali mencari lokasi lain untuk digali. Peristiwa itu terulang kembali. Tanah yang sudah digali kembali menyempit dan tertutup rapat. Peristiwa itu berlangsung begitu cepat, sehingga tidak seorangpun pengantar jenazah yang menyadari bahwa tanah itu kembali rapat. Peristiwa itu terjadi berulang-ulang. Para pengantar yang menyaksikan peristiwa itu merasa ngeri dan merasakan sesuatu yang aneh terjadi. Mereka yakin, kejadian tersebut pastilah berkaitan dengan perbuatan si mayit.
Waktu terus berlalu, para penggali kubur putus asa dan kecapaian karena pekerjaan mereka tak juga usai. Siangpun berlalu, petang menjelang, bahkan sampai hampir maghrib, tidak ada satupun lubang yang berhasil digali. Mereka akhirnya pasrah, dan beranjak pulang. Jenazah itu dibiarkan saja tergeletak di hamparan tanah kering kerontang.
Sebagai anak yang begitu sayang dan hormat kepada ibunya, Hasan tidak tega meninggalkan jenazah orang tuanya ditempat itu tanpa dikubur. Kalaupun dibawa pulang, rasanya tidak mungkin. Hasan termenung di tanah perkuburan seorang diri.
Dengan ijin Allah, tiba-tiba berdiri seorang laki-laki yang berpakaian hitam panjang, seperti pakaian khusus orang Mesir. Lelaki itu tidak tampak wajahnya, karena terhalang tutup kepalanya yang menjorok ke depan. Laki-laki itu mendekati Hasan kemudian berkata padanya,” Biar aku tangani jenazah ibumu, pulanglah!”. kata orang itu.
Hasan lega mendengar bantuan orang tersebut, Ia berharap laki-laki itu akan menunggu jenazah ibunya. Syukur-syukur mau menggali lubang untuk kemudian mengebumikan ibunya.
“Aku minta supaya kau jangan menengok ke belekang, sampai tiba di rumahmu, “pesan lelaki itu.
Hasan mengangguk, kemudian ia meninggalkan pemakaman. Belum sempat ia di luar lokasi pemakaman, terbersit keinginannya untuk mengetahui apa yang terjadi dengan kenazah ibunya.
Sedetik kemudian ia menengok ke belakang. Betapa pucat wajah Hasan, melihat jenazah ibunya sudah dililit api, kemudian api itu menyelimuti seluruh tubuh ibunya. Belum habis rasa herannya, sedetik kemudian dari arah yang berlawanan, api menerpa wajah Hasan. Hasan ketakutan. Dengan langka h seribu, ia pun bergegas meninggalkan tempat itu.
Demikian yang diceritakan Hasan kepada ulama itu. Hasan juga mengaku, bahwa separuh wajahnya yang tertampar api itu kini berbekas kehitaman karena terbakar. Ulama itu mendengarkan dengan seksama semua cerita yang diungkapkan Hasan. Ia menyarankan, agar Hasan segera beribadah dengan khusyuk dan meminta ampun atas segala perbuatan atau dosa-dosa yang pernah dilakukan oleh ibunya. Akan tetapi, ulama itu tidak menceritakan kepada Hasan, apa yang telah diceritakan oleh ibunya kepada ulama itu.
Ulama itu meyakinkan Hasan, bahwa apabila anak yang soleh itu memohon ampun dengan sungguh-sungguh, maka bekas luka di pipinya dengan ijin Allah akan hilang. Benar saja, tak berapa lama kemudian Hasan kembali mengabari ulama itu, bahwa lukanya yang dulu amat terasa sakit dan panas luar biasa, semakin hari bekas kehitaman hilang. Tanpa tahu apa yang telah dilakukan ibunya selama hidup, Hasan tetap mendoakan ibunya. Ia berharap, apapun perbuatan dosa yang telah dilakukan oleh ibunya, akan diampuni oleh Allah SWT


Top of Form